Pengkhotbah

Perikop
Kejadian 50:1-26

Ringkasan Khotbah

YouTube player

Banyak orang Kristen tidak bisa mencapai tujuan Allah dalam hidupnya karena masih hidup di masa lalu, yang disebabkan oleh akar pahit yang tidak terselesaikan. Untuk menyelesaikan akar pahit, diperlukan pertumbuhan dan kedewasaan rohani yang signifikan. Untuk mendapat pertumbuhan rohani, kita perlu untuk mendengarkan perkataan dan kehendak Tuhan. Dalam pembelajaran ini, kita akan melihat puncak atau kulminasi dari pertumbuhan rohani yang dialami Yusuf dan kedewasaan rohani yang ditunjukkannya dalam menangani masa lalunya yang pahit.

Banyak orang yang merasa pantas untuk menuntut balas, untuk merasa sakit hati, apabila kita disakiti oleh orang lain. Apakah benar begitu? Marilah kita melihat bagaimana jawab Alkitab melalui kisah Yusuf. Yusuf telah mengalami banyak hal sejak ia dijual oleh saudara-saudaranya sebagai budak ke Mesir; ia diperbudak, difitnah, dipenjara, dilupakan. Sebagai manusia, apa yang dialami Yusuf membuat kita secara rasio merasa pantas untuk merasa kecewa, bahkan benci, kepada saudara-saudaranya yang menjualnya, kepada ayahnya yang menjadi penyebab secara tidak langsung, maupun pada Tuhan yang seolah-olah membiarkannya. Tetapi kita melihat, Yusuf tidak melakukan salah satu dari semua hal itu. Dia tidak membenci saudara-saudaranya, ayahnya, bahkan tidak ada perasaan kecewa kepada Tuhan.

Oleh karena itu, hati-hati untuk sakit hati, jika belum menderita seperti Yusuf.

Kita mengetahui bahwa Tuhan berkarya melalui hidup Yusuf, tetapi bagaimana Yusuf bisa mengetahui hal ini? Di sinilah letak bukti mutlak pertumbuhan dan kedewasaan rohani Yusuf. Ketika kita disakiti oleh orang lain, kita tidak selalu harus memilih untuk marah, kecewa, atau mendendam, tetapi ada pilihan untuk mengampuni. Pengampunan sejati tidak mungkin dikerjakan oleh diri kita sendiri, diperlukan adanya kedewasaan rohani yang luar biasa. Kita mengenal ada dua tingkat pengampunan: pengampunan uniliteral, dan pengampunan trans-aksional.

Pengampunan uniliteral adalah pengampunan yang diberikan kepada orang yang tidak meminta pengampunan; pengampunan yang bersifat sebelah pihak. Alasan mengapa diperlukan pengampunan uniliteral adalah lebih kepada untuk melepas beban / belenggu akar pahit. Terkadang kita tidak menyadarinya, tetapi ketika kita menyimpan akar pahit dengan tidak mengampuni, hal itu membelenggu diri kita sendiri dan hidup kita terus disandera dengan kondisi yang tidak berubah, yaitu terus diikat dalam kebencian. Hal ini justru menyiksa diri kita sendiri lebih daripada kesakitan yang disebabkan orang lain. Dalam Luk. 23:34, Tuhan Yesus telah memberikan teladan pengampunan uniliteral.

Pengampunan trans-aksional, sesuai namanya, adalah pengampunan yang melibatkan aksi dari kedua pihak dalam konflik, dalam rangka untuk memperbaiki relasi. Berbeda dengan pengampunan unilateral yang hanya melibatkan diri sendiri untuk melepaskan beban akar pahit dalam hidup kita, dalam pengampunan trans-aksional diperlukan keterlibatan dan usaha yang nyata dari kedua pihak, bukan hanya pernyataan tetapi juga dalam aksi, dan perlu untuk diuji kesejatiannya.

Ada beberapa tahapan untuk memvalidasi pengampunan yang sejati, yaitu: tidak melibatkan orang lain di luar konflik yang ada (Kej. 45:1-2), membuat pihak yang bersalah kepada kita merasa tenang dan tidak lagi bersusah hati (Kej. 45:4), dan menolong pihak yang bersalah itu untuk mengampuni diri mereka sendiri (Kej. 45:5). Yusuf membuktikan semua hal ini dalam interaksinya dengan saudara-saudaranya. Yusuf tidak menambahkan rasa bersalah kepada pihak yang bersalah kepadanya, melainkan membantu mereka keluar dari rasa bersalah dan mulai mengampuni diri mereka sendiri; inilah bukti dari pengampunan sejati yang dikerjakan oleh Yusuf.

Apa yang mendorong Yusuf untuk dapat mengampuni saudara-saudaranya? Terlepas dari apakah saudara-saudaranya tulus ketika mereka meminta pengampunan itu, Yusuf dengan tulus mengampuni mereka karena ia mengerti dan melihat segala peristiwa yang terjadi dalam hidupnya bukan melalui perspektif manusia tetapi perspektif ilahi (Kej. 45:5). Secara manusia, kita melihat peristiwa yang menimpa Yusuf sebagai penderitaan yang disebabkan oleh saudara-saudaranya, tetapi Yusuf dibukakan pengertian bahwa Allah memakai peristiwa itu untuk rancangan kebaikan-Nya. Fokus kepada Allah membantu Yusuf untuk melepaskan diri dari rasa kebencian dan memulai pengampunan. Faktor lainnya yang memampukan Yusuf untuk mengampuni adalah kasihnya kepada pihak yang paling terluka dari konflik antara dirinya dengan saudara-saudaranya, yaitu Yakub, ayahnya (Kej. 45:9). Yakub sedih dan terluka oleh konflik antara anak-anaknya, dan terus-menerus menderita oleh hal itu. Jika Yusuf mendendam dan tidak mengampuni saudara-saudaranya, itu tidak akan meringankan penderitaan bapanya, malah menambah kesakitan yang lebih dalam.

Dendam adalah upaya menghalangi Allah menyelesaikan masalah yang sedang kita hadapi (Ibr. 10:30).

Dendam tidak pernah menyelesaikan masalah, hanya melahirkan dendam yang baru yang tidak pernah berakhir. Allah menjalankan tugas-Nya dalam memberi “pembalasan” (lihat kisah Yehuda, Kej. 38), dan memberikan menguatkan Yusuf untuk mengampuni, dengan memberikannya keluarga yang baru (Manasye & Efraim, Kej. 41:51-52). Yang terjadi ketika kita mengampuni adalah membiarkan Tuhan melakukan tugas-Nya untuk memberikan “pembalasan”, danmendapatkan pengampunan dari Tuhan bagi diri kita sendiri.

Pengampunan adalah suatu kata yang indah ketika kita membutuhkannya, tetapi menjadi suatu kata yang jelek ketika kita harus memberikannya; meskipun demikian, kita memerlukan kedua-duanya.

Marilah kita semua rindu untuk bertumbuh dan memiliki kerohanian yang dewasa, dan belajar untuk memberikan pengampunan yang sejati seperti yang diteladankan oleh Yusuf melalui kisah hidupnya. Tuhan Yesus memberkati.