Pengkhotbah

Perikop
Matius 10:24-25

Ringkasan Khotbah

Iman sejati kepada Tuhan memberikan kita sebuah natur baru yang berperan membentuk orientasi kehidupan kita di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus mengumpamakan para pengikut-Nya seperti seekor domba karena domba adalah hewan yang lemah yang sangat mudah diserang kawanan binatang buas. Para pengikut Yesus disebut sebagai domba dan bukan serigala yang identik dengan kebuasan. Di zaman sekarang, yang dikumandangkan oleh dunia adalah budaya macho, kuat, kekar, hebat, artinya manusia harus mampu bersaing dalam segala bidang. Ternyata hal ini sudah diwariskan sejak zaman Yunani dan Romawi, dimana orang-orang didorong untuk tampil percaya diri, tidak takut, dan tidak ragu untuk menghadapi apapun. Padahal pada faktanya, sebenarnya manusia begitu lelah menjalani kehidupan yang dipenuhi dengan kepura-puraan menjadi kuat. Alkitab mengajarkan bahwa natur manusia adalah natur seperti seekor domba, kita terus-menerus ada kelemahan dan mudah sesat. Salah satu aspek iman yang paling nyata adalah trust, artinya mengakui dengan rendah hati bahwa kita tidak mempunyai kekuatan sendiri sehingga kita harus bergantung terus-menerus pada Tuhan.

Dalam Matius 10:16, para murid sebagai domba-domba diutus oleh Tuhan Yesus ke tengah-tengah serigala tapi mereka diajarkan supaya cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Apa artinya cerdik seperti ular? Ular adalah hewan yang cenderung menjauh dari bahaya dan sangat memahami tempat aman bagi keselamatannya dari serangan musuh. Ini diartikan sebagai kehati-hatian untuk menyelamatkan diri dari bahaya. Tapi ular juga termasuk hewan licik yang memagut dengan tiba-tiba sehingga Tuhan Yesus mengajarkan para murid supaya juga tulus seperti merpati, bukan hanya cerdik seperti ular. Tulus seperti merpati berarti mempunyai motivasi murni di hadapan Tuhan, tidak ada motivasi jahat untuk keuntungan pribadi/golongan. Ketika para murid diutus oleh Yesus untuk memberitakan Injil ke tengah-tengah dunia, banyak bahaya yang menantikan mereka sehingga para murid harus tahu dimana tempat yang aman disertai dengan ketulusan hati. Dimanakah tempat aman itu? Dalam naungan Tuhan Allah sendiri. Kemana pun Tuhan memimpin, di situlah tempat paling aman. C. S. Lewis berkata: “Orang yang semakin menjauh dari Tuhan, akan semakin khawatir hidupnya. Orang yang semakin dekat dengan Tuhan, semakin tidak khawatir”. Ular itu cerdik tapi tidak tulus sementara merpati tulus tapi tidak cerdik dan gampang ditipu. Orang-orang Kristen harus cerdik dan tulus.

Prinsip ketulusan juga terus dipegang oleh Rasul Paulus dalam memberitakan Injil. Paulus dengan tulus menyesuaikan diri dengan semua orang dengan tujuan agar Injil diberitakan dan diterima (1 Korintus 9:22). Ketika Tuhan Yesus mengutus para murid memberitakan Injil, mereka dinasehatkan agar tetap waspada. Siapakah sajakah yang diwaspadai? Semua orang, termasuk para ahli agama, para penguasa, bahkan saudara sendiri. Ada beberapa murid Tuhan Yesus yang “khawatir” dikucilkan sehingga tidak berani terang-terangan mengakui pada orang lain bahwa mereka beriman kepada Yesus, misalnya Nikodemus, Yusuf dari Arimatea, dan Petrus. Ayat 28 mengajarkan kita untuk tidak boleh menjadi pasif, tidak boleh takut memberitakan Injil, tapi tetap setia dan bersandar pada Tuhan. Kasih kepada Kristus harus menjadi yang terutama. Tidak ada ke-Kristen-an sejati yang tanpa memikul salib. Charles Spurgeon berkata: “Mereka yang berani menyelam dalam lautan penderitaan akan menemukan mutiara yang langka”. Dalam sebuah pengadilan, pengacara yang pandai bicara diperlukan untuk membela seorang terdakwa. Dalam menghadapi berbagai tantangan di dunia yang gelap sekarang ini, kita tidak perlu khawatir karena ada Roh Kudus yang selalu sedia menolong kita. Ketika ada penganiayaan, kita dimampukan untuk bisa menjawab karena Roh Kudus yang menolong (ayat 20). Ingatlah nasehat Rasul Paulus kepada Timotius: “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya” (2 Timotius 3:12). Marilah kita menguji diri kita sendiri dan bertanya dalam hati kita: “Apakah saya sudah sungguh-sungguh menghidupi ke-Kristen-an saya?” Ke-Kristen-an yang sejati harus memikul salib dan ada ujian dan penderitaan di dalamnya. Kiranya kita hidup dengan setia terus bersandar kepada Tuhan.